Senin, 26 Desember 2016

Parfume & Glamorous Party

Ini dia beberapa aroma dari wanita yang disukai oleh pria:

1. Vanilla
Aroma vanilla sangat sensual, hangat serta sedikit manis yang membuat para pria lebih tenang dan nyaman ketika berada disekitar wanita yang memakai parfum beraroma vanilla. Untuk kamu yang ingin parfum beraroma vanilla, cobalah parfum Vitalis Magnifique yang memiliki perpaduan vanilla di dalamnya sehingga menciptakan keharuman dengan sentuhan feminim


2. White floral
White floral menciptakan aroma yang feminine dan seksi. Wangi ini juga menciptakan karakter wanita yang aktif dan smart. Kamu bisa mencoba parfum Vitalis Diva untuk menciptakan keharuman yang elegant dan memancarkan pesona bintang yang memikat.


3. Musk
Aroma musk lebih kental dibandingkan sandalwood. Musk pada parfum wanita menghasilkan wangi yang lembut namun sensual. Parfum Femme Chic dari Vitalis menonjolkan wangi musk yang menciptakan keharuman lembut yang tahan lama.


4. Rose
Parfum dengan aroma mawar akan menunjukkan sifat ceria, romantic dan elegant. Jika kamu tipe wanita yang ceria dan romantic, parfum Haute Couture dari Vitalis sangat cocok untuk kamu. Parfum ini mampu menciptakan keharuman yang ekspresif dalam setiap penampilan yang menarik.


5. Mandarin Green
Aroma lain yang disukai oleh pria adalah aroma Mandarin Green. Aroma ini menciptakan kesan yang misterius namun menyegarkan dan menyenangkan. Parfum Vitalis Glam Star memiliki keharuman Mandarin  Green yang segar. Parfum ini juga dibalut dengan kemewahan aroma Woody yang hangat dan elegan dan menimbulkan kesan seorang bintang yg sedang bersinar.


6. Gourmand Amber
Aroma Gourmand Amber memberikan kesan manis, mewah dan berkarakter yang membuat pria terkesan dan merasa nyaman bersamamu. Jika kamu menyukai perfume beraroma  amber yang  manis dan mewah, Parfum Vitalis Celebrite  sangat cocok untuk kamu. Parfum ini mampu memancarkan aura seorang selebriti yang glamour dan berkarater



Sabtu, 02 Februari 2013

Sejarah Singkat Imam Syafi'i


Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.

Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.

Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.


Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.

Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.

Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far, Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.

Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.

Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.

Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.

Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal. 

Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja. 

Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.

Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.

Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.

Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits. 

Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” 

Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.

Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.

Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus”

Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.

Sabtu, 26 Januari 2013

Tips Memutihkan Kulit Secara Alami



Warna kulit seseorang baik itu hitam, putih dan coklat ditentukan oleh banyak faktor. Faktor dari luar tubuh karena adanya paparan sinar matahari secara langsung dapat membuat kulit menjadi lebih gelap. Sementara faktor lain dari dalam tubuh yang sedikit banyak ditentukan oleh melanin. Melanin diproduksi oleh sel melanosit, yang mana melanin dirangsang produksinya oleh enzim tyronase. Inilah yang kemudian mempengaruhi warna kulit, mata dan rambut. Banyak sedikitnya serta jenis melanin yang menentukan pigmen diatur oleh beberapa gen dalam tubuh yang diturunkan dari orangtua ke anak-anak mereka. Gen-gen inilah yang menyebabkan banyaknya perbedaan warna kulit pada manusia.

Adanya anggapan bahwa warna kulit putih lebih cantik, membuat wanita mencoba berbagai usaha untuk memutihkan kulit. Padahal untuk mencerahkan dan memutihkan kulit tergantung pada ras nya masing-masing. Tentu saja ras kaukasian atau orang bule berbeda dengan ras orang Asia atau Negroid. Jadi pada saat whitening bekerja akan memberikan hasil yang berbeda untuk setiap ras.


Berikut beberapa cara alami yang dapat kamu coba untuk memutihkan kulit :

- Jeruk Nipis dan Lemon
Kandungan vitamin C pada jeruk sangat tinggi. Ada dua cara memanfaatkan jeruk. Pertama, dengan mengkonsumsi langsung. Kedua, menggunakan jeruk nipis dari luar dengan mengusapkan potongan jeruk nipis wajah dan bagian tubuh yang diinginkan secara rutin setiap hari. Bisa juga dengan cara mencampur jeruk lemon dengan putih telur, gunakan sebagai masker selama 5-10 menit kemudian dibilas.
Jeruk dapat dikombinasikan dengan yoghurt. Yoghurt mengandung vitamin C dan B3 yang bermanfaat untuk mencerahkan kulit. Caranya, 2 sdm yoghurt dicampur 1 sdm perasan jeruk, aduk hingga tercampur rata. Oleskan pada wajah dan leher secara merata dan biarkan selama 15 menit.

- Pepaya
Pepaya mengandung enzim papain, yang berguna sebagai eksfoilator yaitu membersihkan kotoran dan mengangkat sel-sel kulit mati sehingga kulit menjadi cerah dan halus. Caranya, pepaya diblender atau dihaluskan, bisa dicampur dengan jeruk nipis, lalu oleskan ke wajah, leher dan seluruh tubuh yang ingin diputihkan. Lakukan seminggu sekali.

- Pisang Ambon
Selain mengandung vitamin C, pisang ambon juga mengandung serat tinggi. Pisang ambon cocok digunakan untuk kulit normal. Caranya, pisang ambon dikupas lalu diblender, setelah itu ditambahkan dengan 1 sdt madu dan diaduk sampai rata. Jadikan campuran tersebut sebagai masker, dengan cara mengoleskan pada wajah termasuk leher. Lalu diamkan selama 15 menit setelah itu dicuci bersih dengan air dingin. Lakukan seminggu sekali.


Tips Tambahan

- Jika diblender, jangan terlalu lama karena jika terlalu halus akan menjadi cairan dan vitamin C dalam buah menjadi rusak

- Karena vitamin C atau antioksidan cepat mengalami oksidasi, maka begitu buah-buahan tersebut dibuat, segeralah digunakan agar kandungan vitaminnya tidak menguap.

- Perawatan dengan bahan alami cukup dilakukan seminggu sekali agar tidak timbul iritasi. Terutama jeruk yang bersifat asam.

- Buah-buahan dapat dicampur dengan susu atau madu. Susu bersifat untuk melembutkan kulit, sementara madu bersifat sebagai antibakteri, memberikan nutrisi dan melembabkan kulit.

- Tetap harus rutin melakukan perawatan wajah harian, seperti membersihkan wajah dengan facial wash atau cleansing milk lalu memakai toner.

Demikian tips ampuh memutihkan kulit secara alami, semoga dapat bermanfaat dan selamat mencoba.

Selasa, 22 Januari 2013

Kata-Kata Lucu 1

 Cowok : eee bapak kamu pasti tukang servis kipas angin ya…?
Cewek : kok tahu sih
Cowok : karena kamu telah menyejukan hatiku……….

Cowok : eee bapak kamu pasti asli Jakarta ya…..?
Cewek : kok tahu sih
Cowok : karena kamu telah memonaskan hatiku….

Cowok : eee kamu suka main ke warnet ya…?
Cewek : kok tahu sih
Cowok : Karena kamu telah mendownload hatiku….

Cowok : eee kamu pasti suka gaya Briptu Norman ya……?
Cewek : kok tahu sih
Cowok : karena kamu telah menchaiyya – chaiyyakan hatiku…..

Cowok : eee Bapak kamu seorang pilot ya….?
Cewek : kok tahu sih
Cowok : karena kamu telah menerbangkan hati……

Cowok : eeee kamu pasti anak ragil ya…?
Cewek : kok tahu sih
Cowok : Karena kamu telah memanjakan hatiku……

Cow : Emm bapaknya tukang tambal ban ya yank?
Cew : kok tahu?
Cow : iya Karena kau telah menambal kekosongan dihatiku…
Cew : ihirr So swett.....

cowo:bapak kamu tukang ketoprak nya
cewe:kok tau sih
cowo:karna kau telah mengulek ngulek hati ku
cwo:”neng-neng bpk kamu pemburu yah?”
cwe:”lhoo…!kok tau sihh?”
cwo:”karna kau tlah memanah hatiku..”
cwe:”(tersipu malu)aaaaah km bisa z cii”
kata rayuan gombal versi Andre OVJ
cow:eee bpk kmu pernah jd maling y..?
ccew:lho lho lho.. g kok,mank npa..?
cow:krna kmu tlah mencuri hatiku…

cow: bapak kamu kerja di PLN yah ,,
cew: lo ko tau sih ..
cow: soal’a bapakmu mencabut meteran listrik rumahku ,,
cew: (Guubrraaak)kata rayuan gombal versi Andre OVJ

Cowo:kamu punya uang 2000 ga?
Cwe:punya,emng buat pha?
Cwo:buat bayar parkir di hati kmu……heheheeheheheheheheh

cowok:bapak kamu polisi yah ?
cewek:koq,tahu banget, sich bang??
cowok:karena sudah,menembak hatiku

cow:hobi kamubermain bulutankinya
cew:ko tau
cow:karena kamu telah menangkis hatiku

Kamis, 10 Januari 2013

Esperoska What Makes You Beatiful



Thanks for watching :D enjoy it guys ...

follow twitter kita 
@elliza_tri 
@aii_aisyah 
@bhe_be02

Jumat, 21 Desember 2012

Berdamai Dengan Keadaan

Sunnatullah Kehidupan
       Kehidupan bagaikan roda. Senantiasa berputar, kadang di atas dan kadang di bawah. Kadang bahagia, tapi kemudian cobaan membabi buta. Ibarat dua sisi mata uang logam yang saling melengkapi. Tidak ada satupun yang abadi. Itulah Sunnatullah. Sebagai orang yang beriman tentu kita tidak kaget ketika tiba-tiba Allah mendatangkan ujian-Nya. Namun lain hal-Nya dengan saudara-saudara kita yang belum memahami hakikat kehidupan ini, ujian yang datang justru akan menghempasnya dalam samudra penderitaan yang seolah tiada bertepi. Dalam menghadapi silih bergantinya kehidupan ini, manusia dibagi menjadi dua. 

            Pertama, adalah mereka manusia yang beriman. Dimana mereka senantiasa siap menghadapi ujian karena sadar bahwa dunia adalah ladang amal. Ujian yang datang bukanlah dianggap halangan, tapi sebagai sarana untuk memperoleh pahala dari Allah SWT. Kedua, manusia yang paling tidak siap dalam menghadapi ujian Allah SWT adalah orang-orang atheis. Mereka tidak mengakui adanya Rabb di dunia ini. Tentu saja mereka tidak siap, jangankan yakin akan datangnya pertolongan Allah, keberadaan Allah sebagai pencipta dan penguasa jagad raya pun mereka tidak percaya. Tidak ada hal yang bisa mereka lakukan selain berputus asa, putus harapan yang menghantarkan kepada kebinasaan. Naudzubillah himindalik.

          Dalam kehidupan ini hendaknya kita senantiasa menyiapkan satu wadah kekecewaan dalam hati kita. Sebab tidak selamanya kehidupan ini berjalan seperti yang kita inginkan. Jendela ‘kekecewaan’ itu setidaknya membuat diri kita lebih siap menghadapi hal-hal yang tidak kita inginkan.
          Jika kita terbiasa mendapatkan kemudahan dalam banyak hal, bisa jadi ketika kesulitan itu datang kita tidak siap menghadapinya. Yang jelas optimis itu harus ada, namun sediakan satu celah untuk melapangkan hati menghadapi hal yang tidak sesuai harapan kita.

Sikap ketika ujian datang
Ketika ujian, cobaan dan masalah datang menghampiri diri kita, cobalah untuk berdamai dengannya. Yang dimaksud berdamai disini bukan berarti menyerah dengan keadaan yang ada, ‘pasrah bengkokan’ orang Jawa bilang. Akan tetapi berdamai disini adalah mencoba untuk menerima keadaan yang ada sambil terus berikhtiar mencari jalan keluar terbaik. 


Dengan penerimaan atas kondisi yang menimpa kita setidaknya akan membuat jiwa kita sedikit tenang, dan dengan ketenangan hati dan kejernihan pikiran akan lebih memudahkan bagi kita menemukan solusi. Berbeda hal-nya jika kita frontal dalam menghadapi masalah yang ada, panik kemudian tergesa-gesa. Ibaratnya energinya sudah habis sebelum berperang, ‘nabung pusing’ dulu, capek dulu padahal solusi masih jauh panggang dari arang. Bagaimana mungkin kita akan menemukan solusi masalah, jika pikirannya tidak jernih dan jiwanya mengalami kegoncangan. Pada akhirnya orang-orang seperti ini cenderung memilih lari dari masalah, pasahal sikap tersebut justru akan menambah munculnya masalah baru. Mereka tidak mampu berdamai dengan keadaan, nekat melawan keadaan bukan dengan ilmu tapi dengan hawa nafsu.

Menerima Keadaan Dengan Syukur
       Belajar dari para shalafusshalih, mereka adalah sebaik-baik teladan sosok manusia yang mampu berdamai dengan keadaan. Bagi mereka berdamai dengan keadaan dimaknai dengan mensyukuri apa yang masih mereka miliki. Ketika pun Allah menguji mereka dengan kekurangan harta, mereka masih bisa bersyukur karena masih diberi kenikmatan iman serta tubuh yang sehat, sehingga mereka masih tetap bisa beribadah. Ketika Allah menguji mereka dengan penyakit yang diderita, mereka masih saja menemukan celah rasa syukur sebab masih diberi nafas untuk berdzikir.
          Contoh yang paling nyata adalah apa yang menimpa ulama besar Ibnu Taimiyyah beliau tidak pernah lelah menghadapi ujian dalam rangka menyampaikan kebenaran. Suatu ketika penguasa yang dzalim memenjarakannya, karena tidak menyukai apa yang beliau sampaikan. Apakah kemudian beliau berputus asa, goyah pendiriannya? Ternyata justru tidak bahkan semakin lantang menyuarakan kebenaran dari balik jeruji besi. Sajaknya yang paling terkenal adalah “Apakah yang diperbuat musuh padaku. Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku. Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku dan tiada pernah tinggalkan aku. Aku, terpenjaraku adalah khalwat. Kematianku adalah mati syahid. Terusirku dari negeriku adalah rekreasi. Beliau pernah berkatan dalam penjara: “Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya.”
          Bahkan kemudian dari balik penjara terlahirlah karya-karya besar beliau, berupa buku aqidah, tafsir dan lainnya. Artinya penjara tidak pernah menjadi penghalang bagi beliau untuk tetap tegar menyampaikan kebenaran. Meskipun dipenjara beliau bersyukur masih diberikan hidup yang dengannya bisa melahirkan banyak karya.

Kesyukuran = Kebahagiaan
       Pada hakikatnya dengan syukur itulah manusia akan menemukan kebahagiaan. Sebab hatinya lapang, jiwanya tenang sebagai efek dari mampu berdamai dengan keadaan. Banyak orang yang sibuk mencari hakikat kebahagiaan, tapi setelah mereka memperolehnya, kebahagiaan itu ternyata semu. 

           Yang perlu digaris bawahi bahwa bahagia itu bukan materi, tapi lebih ke penerimaan diri atas apa yang kita miliki. Bisa saja orang punya banyak harta tapi sebenarnya dia tidak bahagia, sebab ia masih haus dan haus untuk mencari lagi harta sehingga tidak sempat menikmati yang telah ada. Berbeda dengan mereka yang mampu menerima apa yang mereka miliki, walaupun sedikit mereka bisa menikmatinya dan kenikmatan itulah sumber dari kebahagiaann. Atau contoh lain mereka yang tidak puas dengan bentuk fisiknya, berkali-kali melakukan operasi plastik untuk mengubah hidungnya agar mancung, bibirnya agar tipis atau setidaknya membuat mereka tampak lebih muda sepuluh tahun. Mungkin untuk sesaat mereka bisa bahagia, tapi bagaimana selanjutnya? Sebab jiwa yang tidak bisa menerima keadaan dirinya, ia senantiasa tidak puas dengan yang ia miliki. Ingin dan ingin terus mengubahnya. Hakikatnya sebenarnya ia tidak bahagia, sebab ia senantiasa terobsesi untuk mengubah dirinya sesuai yang diinginkannya. Padahal Allah SWT telah menciptakan hamba-Nya dengan sebaik-baik bentuk. Kebahagiaan itu akan datang manakala manusia bisa menerima bagaimanapun penciptaannya. Dan pasti tidak ada yang sia-sia atas apa yang telah Allah berikan kepada manusia